Pelacur Pendidikan

Sewaktu saya pulang ke kampung tercinta Subang Utara, saya sudah booking untuk bertemu dengan seorang kawan. Kawan saya ini adalah anak muda yang hidupnya penuh dengan pergerakan sosial, mahasiswa bahkan ikut ormas-ormas. Bukan seperti para ormas lainnya. Satu-satunya alasan kami selalu menyempatkan bertemu (jika ada kesempatan) ialah kepedulian kami terhadap masyarakat dan lingkungan. Pernah satu waktu ia sangat resah dengan fenomena anak muda di Pantura yang mengarah kepada destruktif. Minuman keras dan obat-obatan yang sudah diwajarkan oleh anak-anak SMP dan SMA, bahkan hubungan seks -yang menjadi momok menakutkan bagi para orangtua tidak lagi menjadi hal yang sangat tabu. Tapi diperjelas oleh mereka dengan melakukannya tanpa rasa bersalah, atau mungkin berdosa.

Bertemu disalah satu caffe yang terkenal dengan Rumah Komunitas kami berbincang. Tak lupa dengan kopi hitam dan sebatang rokok menemani obrolan kami.

"Begini bang, saya sudah muak melihat hasil dari pendidikan formal yang ada disini", tiba-tiba ia membludak. Sambil menghisap rokok saya bertanya, "Memangnya kenapa?". Tergurat muka kecewa dan sedih dari kawanku ini, "Harusnya mereka tidak melakukan hal-hal menjijikan seperti itu". Mungkin maksudnya adalag fenomena yang tadi saya ceritakan di atas.

Bukannya pendidikan tidak hanya menjadi kewajiban sekolah? Bukannya pendidikan yang utama dan paling pertama adalah di keluarga? Kawan saya mengangguk. Setuju dengan pendapat saya. Harusnya ruang keluarga lah yang menjadi Kawah Candradimuka bagi setiap anak.

Namun kenyataannya, keluarga bukan menjadi tempat pulang untuk anak yang bmau beranjak dewasa. Mereka lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah, bercurhat ria dengan seorang teman bahkan lebih nyaman menghabiskan waktu bersama pacar dibandingkan dengan orangtua. Tapi kita juha tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orangtua, mereka juga harus mencari nafkah demi keluarga.

Terlebih keluarga di Pantura ini kebanyakan pincang. Kawan saya berbicara lantang seperti Bung Tomo yang menyemangati para pejuang dalam perang Surabaya. Saya mengangguk. Memang, potret keluarga di Subang Utara kebanyakan yang kami temui hanyalah satu peran saja. Peran ibu atau peran ayah, bahkan ada anak yang sama sekali tidak menemukan peran orangtua. Entah karena perceraian, fatherless, atau sibuk mencari rupiah agar bisa memenuhi kebutuhan ekonomi sekaligus gengsi.

"Yang lebih parah bang..", mukanya sangat serius. Seperti seorang mahasiswa yang berdiskusi di tahun 1996, suaranya dipelankan supaya terkesan menakutkan atau supaya oranglain tak mendengar obrolan kami. Saya memperhatikannya dengan penuh dan utuh.

"Yang lebih parah ada sekolah yang melakukan komersialisasi." Alis saya mengkerut. Apa maksudnya? Sekolah mana? Ia melanjutkan, "Saya mendapat laporan dan ini valid. Ada sekolah yang menawarkan kepada siswa nya untuk membeli nilai, supaya bisa masuk sekolah favorit. Zonasi yang kacau. Bahkab ada sekolah favorit yang menjual kursi."

Saya tercekat. Seketika seisi kerongkongan menjadi tandus. Saya meneguk kopi hitam yang sudah dingin dan mulai berpikir panjang. Bagaimana mungkin ada sekolah yang sampai sehina itu? Untuk apa? Memperkaya diri? Di duni pendidikan? Astaga!

Sependek pengetahuan saya, pendidikan dan pendidik adalah dua kata yang sangat mulia dalam kehidupan. Mustahil ada yang sampai berbuat sejauh itu. Pendidikan harusnya bisa memanusiakan manusia, mengajarkan ilmu secara jujur, membimbing anak didik menjadi manusia yang insan kamil. Tak perlu ada praktik korupsi, bermain anggaran, munafik berjamaah bahkan menjual diri.

"Itulah yang terjadi sekarang bang", teman saya mengeluh. Saya pun sedih dan marah mendengarnya. Berisik dikepala. Mencari jawaban tentang kenapa dan bagaimana. Kami pun mengakui, praktik seperti itu bisa terjadi dimana saja. Tapi jangan di dunia pendidikan juga.

Saya ambil sebatang rokok dan membakarnya. Menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskannya perlahan. Asap mengelul keluar bersama pertanyaan yang ada di kepala. Kami terdiam. Detik jam tetap berjalan.

"Kita harus berbuat...", ucap kawan saya 


Lebih baru Lebih lama