Industri di Subang, Harapan Semu Kesejahteraan Masyarakat Lokal

Industri di Subang, Harapan Semu Kesejahteraan Masyarakat Lokal


Subang menjadi salah satu wilayah dengan basis utama pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri. Industrialisasi mampu mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat. Terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat, kesejahteraan, serta pertumbuhan ekonomi suatu wilayah menjadi segelintir manfaat dari industrialisasi. Namun, seperti halnya dua sisi mata uang logam, industrialisasi tidak hanya membawa kemajuan dengan jaminan kesejahteraan, namun juga membawa dampak buruk sebagai buah tangan dari prosesnya. 

Berdasarkan itu semua, tulisan ini akan memberikan gambaran tentang apakah industrialisasi di mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat atau justru hanya sebatas mitos. Selain itu dalam tulisan ini akan melihat sejauh mana peran dari Pemerintah Daerah Kabupaten Subang terlibat dalam situasi ini.

Subang menjadi satu diantara segelintir wilayah yang mampu menjalankan dua ekosistem secara bersamaan, yaitu ekosistem industri dan ekosistem pemanfaatan sumber daya alam. Sebelum menjamurnya pabrik-pabrik industri, masyarakat menggantungkan hidupnya terhadap alam. Pertanian dan pariwisata menjadi basis perekonomian masyarakat Subang. Kemudian, industrialisasi mulai merasuki wilayah Kabupaten Subang. Antara ekosistem industri dan alam kini berjalan beriringan. Hal ini telah berjalan selama puluhan tahun, namun bukan berarti hal ini tidak menghasilkan suatu dampak negatif diantara dampak positif yang selalu digaungkan di tengah masyarakat. 

Kerusakan lingkungan di beberapa wilayah menjadi korban atas munculnya industri. Bentuk-bentuk industrialisasi modern telah menempa transisi global yang mendasar secara meluas dalam hal dinamika kependudukan, perkembangan ekonomi, dan kerusakan lingkungan serta ekosistem (Lopez, Badenoch, Choirudin, 2022). Lahan pertanian saat ini kian menyempit berganti dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi tempat para buruh menggantungkan hidupnya. Pariwisata alam berganti menjadi pusat-pusat perbelanjaan. Kemudian yang menjadi pertanyaan ialah hingga kapan situasi ini akan terus bisa berjalan? Serta sampai kapan pembangunan harus selalu mengorbankan masyarakat?


Akar Mula Sebuah Permasalahan

Indonesia di masa pemerintahan Jokowi mendorong pembangunan dalam berbagai sektor potensial untuk meningkatkan pendapatan negara serta untuk memastikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kabupaten Subang menjadi salah satu wilayah dimana pusat industri akan berdiri sebagai basis potensial bagi pertumbuhan ekonomi negara. Namun, seringkali narasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait hal ini adalah pembangunan berbasis ramah lingkungan. Namun, kenyataan yang terjadi, pembangunan yang dilakukan justru menjadi penyebab terjadinya kemunduran dalam sektor lingkungan hidup. Dalam hal ini bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah untuk memastikan kesejahteraan masyarakat terpenuhi namun di lain sisi memastikan kelestarian lingkungan tetap terjaga.

Sebelum industri berkembang layaknya seperti yang terjadi saat ini, masyarakat lebih menggantungkan kehidupannya melalui pemanfaatan sumber daya alam. Misalnya ia memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk makanan, pakaian, rumah dan kayu bakar, hewan untuk makanan dan tenaga kerja, serta air untuk minum. Pola kehidupan masyarakat yang bergantung terhadap sumber daya alam ini tak bisa berjalan hingga batas waktu yang lama. Pertambahan penduduk menjadi titik mula permasalahan lingkungan muncul ke permukaan. Semakin banyaknya penduduk maka penggunaan sumber daya alam juga akan semakin bertambah. Hal ini akan menimbulkan eksploitasi berlebih terhadap sumber daya alam.

Melihat bahwa sumber daya alam kian terancam ketersediaannya seiring dengan pertumbuhan jumlah masyarakat yang besar maka peranan teknologi dibutuhkan. Teknologi berguna dalam meningkatkan jumlah sumber daya alam demi tercapainya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Di lain sisi revolusi industri yang terjadi di Inggris membawa dampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Namun di lain sisi, revolusi inggris menjadi penyebab munculnya permasalahan terhadap lingkungan hidup. 

Permasalahan tersebut mencakup keadaan lingkungan buruh, kondisi pemungkiman, pencemaran udara, tanah, air dan lain sebagainya. Pembangunan selalu menyebabkan perubahan dalam lingkungan, dalam jangka panjang akan menimbulkan efek samping terhadap lingkungan itu sendiri maupun terhadap masyarakat secara sosial. Efek samping negatif yang ditimbulkan dari proses tersebut secara langsung menjadi beban masyarakat, sehingga mengurangi atau bahkan meniadakan manfaat yang dapat diambil masyarakat dari pembangunan. Kebijakan seringkali sebagai sesuatu yang menyangkut urusan publik. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat menjadi kepentingan publik yang paling penting. Namun banyak kebijakan yang ternyata membuat publik bukan hanya tidak sejahtera, tetapi malah sengsara (Ardianto 2016). Dalam proses pembangunan, seharusnya tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat sekitar. Kondisi kesejahteraan rakyat harus menjadi pertimbangan, jangan sampai dengan adanya pembangunan justru akan menambah kesengsaraan suatu masyarakat akibat dampak negatif yang dihasilkan dari proyek pembangunan tersebut. Sehingga yang tadinya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru kenyataannya menambah beban penderitaan masyarakat.


Kesejahteraan untuk Siapa?

Bagi negara dan perusahaan, pembangunan industri dinilai sebagai jawaban atas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat lokal yang dianggap tidak mampu mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya. Namun sebaliknya, bagi sebagian masyarakat lokal, keberadaan industri dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup mereka dan kerusakan terhadap lingkungan (Ardianto 2016). Hal itu kemudian terjadi di Subang, gedung-gedung pabrik berdiri kokoh diatas lahan seluas ratusan hektar. Dalam prosesnya hal ini telah menimbulkan permasalahan, dimana pembebasan lahan seringkali merugikan masyarakat. Pembebasan lahan ini nyaris selalu ditemui dalam proses pembangunan industri. Akar masalah ini kemudian muncul ketika masyarakat tidak mendapatkan haknya secara penuh atas lahan mereka yang digunakan sebagai bagian dari lahan pembangunan industri. 

Hal ini kemudian terjadi dan menimpa masyarakat Desa Gembor, Kec. Pagaden, Kab. Subang, Jawa Barat dimana di lokasi tersebut berdiri bangunan PT Taifa Jaya Development. Lahan masyarakat yang dulunya difungsikan sebagai lahan pertanian saat ini terdampak oleh adanya pembangunan pabrik PT Taifa Jaya Development. Masyarakat di wilayah tersebut merasa dirugikan atas adanya pembangunan pabrik di sekitar lahan mereka. Selama tiga musim terakhir pertanian masyarakat mengalami gagal panen serta lahan mereka tidak lagi dapat ditanami oleh padi. Gagal panen tersebut diakibatkan oleh masalah perairan yang terganggu akibat pembangunan pabrik tersebut.

Menyikapi permasalahan ini, pemerintah daerah tidak bisa mengambil keputusan. Karena kebijakan ini bukan merupakan kebijakan daerah melainkan kebijakan pemerintah pusat. Dalam hal ini, akses dan kontrol dikuasai oleh negara dan negara memaksa kontrolnya terhadap masyarakatnya (Haekal, 2019). Inilah yang kemudian menjadi masalah, bahwa pemerintah daerah tidak memegang kendali secara penuh terkait pembangunan-pembangunan industri di wilayahnya. Pemerintah pusat dan industri melakukan berbagai artikulasi untuk menciptakan pemaknaan bahwa substansi pembangunan industri di kawasan Subang adalah kesejahteraan itu sendiri. Hal yang perlu diperhatikan, kesejahteraan dari pembangunan industri ini bersifat das sollen (norma idea), bukan berarti kenyataan (des sein) (Ardianto 2016). Tentu hal ini hanya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang merugikan masyarakat sekitar. Pemerintah daerah harus mau mengintervensi kebijakan pemerintah pusat dan industri sehingga jalannya pembangunan bisa dikontrol dengan berbasis pada kesejahteraan masyarakat, serta kelestarian lingkungan hidup.

Pada tahun 2022, dari total 1.260.522 jiwa penduduk Kabupaten Subang sebanyak 868.132 jiwa merupakan angkatan kerja dengan 800.701 jiwa bekerja, dan 67.431 jiwa merupakan pengangguran. Serta sebanyak 392.390 lainnya merupakan bukan angkatan kerja. Dari total penduduk yang bekerja sebanyak 218.121 bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai (BPS Kab.Subang 2022). 

Negara mengimajinasikan kesejahteraan dengan adanya industrialisasi yang memicu geliat pertumbuhan ekonomi (Haekal, 2019). Namun, nyatanya industrialisasi di Kabupaten Subang dinilai belum mampu memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat lokal. Dari keterangan yang penulis dapat dari beberapa narasumber, untuk bisa bekerja di pabrik mereka harus mengeluarkan sejumlah uang yang nilainya tidak sedikit. Memang tidak semuanya, namun pola seperti ini masih terus menjamur sehingga menjadi budaya buruk dalam kultur kerja masyarakat Kabupaten Subang. Dengan mekanisme seperti ini, lingkungan kerja justru hanya akan menciptakan kelas-kelas sosial baru, dimana hanya mereka yang mempunyai kapital dalam jumlah tertentu yang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pada tahun 2022 total sebanyak 776 industri berdiri di Subang. Sebanyak 507 industri diantaranya merupakan industri kimia agro dan hasil hutan, serta sebanyak 269 industri logam , mesin, elektronika, dan aneka (BPS, 2022).. Banyaknya industri nyatanya tidak menjamin akan menyerap tenaga kerja dengan jumlah banyak. Hal itu dapat dilihat dari Kegiatan industri hanya mampu menyediakan lapangan kerja total sebanyak 10.163 yang terbagi dalam industri kimia agro dan hasil  hutan dan industri logam, mesin, elektronika, dan aneka. Hal ini menandakan banyaknya tenaga kerja yang tidak terserap oleh akumulasi kapital (Haekal, 2019). Selain itu, pekerja industri di subang saat ini didominasi oleh mereka yang tinggal di luar wilayah Kabupaten Subang. Hal ini membuat sektor industri yang berdiri di wilayah Kabupaten Subang tidak mampu menjadi ladang pekerjaan bagi masyarakat Subang untuk memperoleh kesejahteraan.

Selain itu, yang menjadi masalah kebanyakan pekerja Industri di Kabupaten Subang adalah sistem kerja dengan gaji harian artinya jumlah upah gaji akan dibayarkan sebesar jumlah hari kerja. Kebijakan seperti ini tentu memberi peluang bagi pihak perusahaan untuk memotong besaran gaji dengan mekanisme pengurangan jam kerja. Hal ini terjadi di PT. TKG Taekwang Indonesia di Karanganyar, Kec. Subang, Kab. Subang, Jawa Barat, dengan dalih mempertahankan keberlangsungan perusahaan akibat dampak krisis ekonomi global yang mengakibatkan penurunan order perusahaan, pihak perusahaan mengeluarkan kebijakan pengurangan hari kerja. Pada bulan Mei 2023 PT. TKG Taekwang Indonesia mengeluarkan kebijakan pengurangan jam kerja selama empat hari. Hal ini tentunya berdampak terhadap besaran upah yang akan didapat oleh para pekerja. Situasi ini terjadi karena jumlah mereka semakin membengkak antara lain dengan peningkatan dan inovasi teknologi produksi yang menghemat pemakaian tenaga kerja manusia (Habibi, 2016) yang membuat pekerja industri dibayangi dengan PHK sepihak serta kekerasan yang terjadi. Artinya, kapitalisme akan mengubah tanah, tenaga kerja, dan kekayaan menjadi komoditi-komoditi industri (Setiawan, 2008).

Sementara itu, situasi berbeda dialami masyarakat di pesisir utara Kabupaten Subang. Masyarakat Desa Patimban, Kec. Pusakanagara, Kab. Subang, Jawa Barat mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan. Hal itu karena wilayah tempat tinggal mereka berbatasan langsung dengan laut. Selain itu, perekonomian masyarakat juga berfokus pada sektor wisata Pantai Patimban, banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dengan berdagang di sekitar bibir pantai. Kehidupan ini berjalan selama puluhan tahun, masyarakat mendapat manfaat dari alam yang ada di wilayah mereka.

Namun, hal ini hanya bertahan sementara. Sejak tahun 2018 Pemerintah Indonesia berencana membangun Pelabuhan di sekitar wilayah tersebut. Pelabuhan yang dibangun di atas lahan seluas 369 Ha dan backup area mencapai 356 Ha tersebut dinilai merenggut kehidupan masyarakat sekitar. Hal itu dibuktikan dengan penutupan akses jalan umum dari Desa Patimban menuju daerah Pantai Patimban. Tentu hal tersebut telah membatasi aktivitas masyarakat.

Untuk mengetahui dengan lebih mendalam tentang apa yang terjadi dan menimpa masyarakat sekitar Patimban, pada Februari 2023 penulis melakukan wawancara langsung dengan masyarakat serta aparatur Desa Patimban.

“Kalau gini terus, lahan pertanian pada hancur,” keluh Kawir masyarakat yang tinggal di sekitar Pelabuhan Patimban. Sebelum adanya Pelabuhan, pada pagi setiap harinya, Kawir berprofesi sebagai buruh tani, lalu pada siang hingga sore hari dirinya beralih profesi menjadi nelayan. Pagi itu saat penulis datang mengunjungi nya ia tidak bekerja seperti biasanya sebagai buruh tani, karena beberapa lahan pertanian tempat ia menggantungkan harapan tak bisa ditanami padi lagi. Kawir merasakan langsung dampak buruk yang dihasilkan pembangunan Pelabuhan Patimban. “Susah air, karena kan sumber air untuk pertanian ditutup,” jelas Kawir.

Dampak buruk juga dirasakan oleh masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, mereka juga kesulitan dalam mencari ikan karena wilayah tangkap yang terbatas. Hal itu terjadi karena zona yang direklamasi menjadi pelabuhan merupakan area tangkap ikan bagi para nelayan. Dengan mayoritas nelayan kecil, dengan armada kapal seadanya, mereka tidak bisa melaut ke area yang lebih jauh, selain karena membahayakan juga akan menambah biaya operasional.

Selain itu masyarakat sekitar juga mengeluhkan terkait minimnya kompensasi yang diberikan pihak Pelabuhan Patimban terhadap masyarakat terdampak. “Ya gatau, bagi masyarakat tidak ada kompensasi berupa apapun. Sebelumnya pihak pelabuhan pernah menjanjikan nanti setelah pelabuhan jalan buat warga yang umurnya sudah lansia, umur 60 tahun keatas, dikasih setiap bulannya 500 ribu, tapi mana nggak ada. Jadi tolonglah pihak pemerintah, pihak pelabuhan perhatikan nasib kami” Jelas Kawir.

Hal serupa juga turut disampaikan oleh Iqbal Nurfizal Selaku Aparatur Desa Patimban. Ia menjelaskan bahwa sekitar 90 % pemilik lahan dalam backup area zona yang dibebaskan untuk Pelabuhan Patimban sebenarnya bukanlah milik masyarakat patimban. “Justru orang asli patimbannya berprofesi sebagai buruhya, buruh tani, buruh tambak, buruh nelayan, ketika lahannya dibebaskan maka otomatis mereka kehilangan mata pencaharian,” jelasnya.

Sebelumnya masyarakat telah beberapa kali melakukan audiensi dengan pihak Pelabuhan, dengan membawa tuntutan terkait memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar yang terdampak. Namun, respon yang kurang memuaskan justru diberikan pihak pelabuhan. Hal tersebut terkait kompensasi yang diberikan pihak pelabuhan hanya berupa pelatihan-pelatihan yang nantinya akan mereka adakan “Hal itu dirasa kurang bermanfaat bagi masyarakat kita” keluh Iqbal. Pelatihan yang diberikan pihak pelabuhan itu dinilai tidak bermanfaat oleh masyarakat karena sedari awal masyarakat sekitar Desa Patimban bekerja sebagai petani dan nelayan. Peralihan sektor pekerjaan hanya akan membawa kemunduran terhadap mereka. Hal ini juga dilakukan oleh pihak pelabuhan itu sendiri dimana terbatasnya ruang bagi masyarakat sekitar untuk masuk dalam sistem tersebut. Alhasil yang bisa masyarakat lakukan adalah menunggu, sembari berharap datangnya harapan untuk memulihkan kehidupan yang semakin sulit atas berdirinya Pelabuhan Patimban ini.



Solusi di Tengah Harapan Kesejahteraan


Pemerintah harus memperhatikan terkait kebijakan terkait dampak industrialisasi terhadap kelestarian lingkungan serta kehidupan sosial masyarakat. Analisis harus dilakukan untuk menentukan bagaimana menyelesaikan konflik pembebasan lahan akibat industri, memastikan ekosistem lingkungan tetap terjaga dari dampak buruk limbah yang dihasilkan dari proses industri, serta memperhatikan kesejahteraan masyarakat sebagai pekerja industri, upah yang layak, jaminan kesehatan, serta perlindungan hukum untuk memastikan hak-hak mereka sebagai pekerja dapat terpenuhi. Peran pemerintah daerah tersebut diperlukan untuk memastikan kebijakan diterapkan untuk mendorong integrasi yang lebih baik untuk menghindari meningkatnya kesenjangan dalam masyarakat (Olah, J.,Aburumman, N., Jozsef, P., Khan, M, A., Haddad, H., & Kitukkutha, N, 2020). 


Yang terjadi saat ini adalah minimnya intervensi yang dilakukan pemerintah daerah terhadap kebijakan yang berasal dari pemerintah pusat dan pihak pengelola industri. Pertanggungjawaban pemerintah daerah Kabupaten Subang yang dilakukan hanya bersifat administratif formalistik berupa hanya sebatas dokumen dan data yang tersaji secara statistik. Dalam hal ini penggunaan kekuasaan atau wewenang sangat potensial untuk disalahgunakan “Power trends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan (Budiardjo,1993).


Sistem yang saat ini berjalan tentunya harus dirubah, bagaimana membuat sistem yang tidak hanya menjawab kepentingan satu pihak tapi juga bisa menjadi jawaban atas segala persoalan tersebut. Bagaimana hal ini bisa dirubah adalah dengan keterlibatan masyarakat dalam merespon segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait sumber daya alam. Masyarakat harus melakukan intervensi politik untuk memastikan wilayah tempat tinggal mereka aman dari proyek-proyek yang berpotensi merusak alam yang mereka miliki sebagai sumber kehidupan. 


Logika yang dipakai pemerintah saat ini adalah industrialisasi akan menciptakan lapangan pekerjaan baru secara langsung, maupun tidak langsung melalui efek gandanya berupa lahirnya pekerja-pekerja informal di sekitarnya. Namun yang terjadi, masyarakat sekitar kebanyakan diantaranya tidak dapat menggunakan kesempatan tersebut karena tidak mempunyai keterampilan dan atau modal. Dalam hal ini, pemerintah harus menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat yang kontekstual dengan keperluan. Selain itu, pemerintah harus menjamin sektor industri yang dibangun di wilayah subang akan mampu menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat Kab. Subang. Tidak hanya sebagai buruh, namun juga mendorong mereka menempati sektor-sektor potensial dalam perusahaan untuk menjamin terciptanya pertumbuhan ekonomi masyarakat Kab. Subang. Namun, yang perlu diperhatikan adalah tidak semua masyarakat siap untuk peralihan bentuk pekerjaan tersebut. Pemerintah harus terus mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat di sektor lain, seperti halnya pertanian, perkebunan, perdagangan, serta pekerja informal lainnya.

Kemudian, perencanaan industrialisasi tidak selalu dilihat dari kepentingan nasional, melainkan menjadi alat bagi pembangunan daerah Kab. Subang. Saat ini pola seperti itu tidak berjalan, banyak industri dibangun di Kab. Subang, tetapi hasil industri itu diangkut ke luar, tanpa memberikan kemungkinan untuk didirikannya industri hilir di daerah Kab. Subang. Dengan demikian proyek industrialisasi itu menjadi semacam pulau yang modern di tengah lautan daerah yang terbelakang (Soemarwoto, 1985). 

Sistem yang saat ini berjalan tentunya harus dirubah, bagaimana membuat sistem yang tidak hanya menjawab kepentingan satu pihak tapi juga bisa menjadi jawaban atas segala persoalan tersebut. Bagaimana hal ini bisa dirubah adalah dengan keterlibatan masyarakat dalam merespon segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait sumber daya alam. Masyarakat harus melakukan intervensi politik untuk memastikan wilayah tempat tinggal mereka aman dari proyek-proyek yang berpotensi merusak alam yang mereka miliki sebagai sumber kehidupan. 









Daftar Pustaka


Setiawan, U., 2008. Dinamika Reforma Agraria di Indonesia Setelah Orde Baru. In: S. M. Tjondronegoro & G. Wiradi, eds. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


Habibi, M., 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran. 1st ed. Jakarta: Marjin Kiri.


Haekal, L., 2019. Ternarasikannya Suluh Perlawanan: Rajutan Wacana Antar Subjek ‘Tolak NYIA’. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.


Olah, J.,Aburumman, N., Jozsef, P., Khan, M, A., Haddad, H., & Kitukkutha, N., 2020. Impact of Industry 4.0 on Environmental Sustainability. Sustainability. doi:10.3390/su12114674


Mirian Budiardjo, 1993. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta


Syarif, Nuh, H, M., 2012. Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar.


Ardianto, T, H., 2016. Mitos Tambang untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. Yogyakarta: PolGov.


Lopez., Badenoch., Choirudin., 2022. Manusia, Alam, dan Masyarakat: Kajian Multidisiplin Asia Tenggara. Yogyakarta: Insist Press dan CSEAS.


BPS, 2023. Kabupaten Subang dalam Angka 2023. [online] available at: https://subangkab.bps.go.id/ [Accessed 6 Mei 2022]



Oleh: Takhfa Rayhan Fadhilah lahir dan tumbuh di Subang, Jawa Barat. saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada jurusan Ilmu Politik dan Pemerintah.








Lebih baru Lebih lama